Hari Itu Hari yang Menyenangkan Untukku
Hari
itu, adalah hari yang menyenangkan buatku. Setelah sekian lama tak bertemu,
akhirnya aku dapat menatapmu. 2 jam tak terasa telah berlalu. Aku dan kamu
saling berhadapan. Bercerita tentang masa lalu dan kini. Ah, aku tak tahu,
rasanya diriku telah kembali. Aku merasa seperti dulu. Kau meledekku, dan aku
meledekmu. Selalu saja kita seperti itu.
2
jam berlalu. Tapi, seperti hanya sesekali aku menatapmu. Tak begitu jelas raut
wajahmu dalam bayangku. Mungkin benar. Rasa itu telah sirna. Mungkin benar.
Rasa ini hanya hasil pemikiranku yang tak berarturan. Mungkin benar. Aku hanya
rindu. Rindu kebersamaan yang telah berlalu.
Degup
jantungku terasa bertalu. Ketika kau memutuskan untuk bertemu. Ah, bukan
bertemu. Tetapi menjemput buku pinjamanmu. Pikiranku berkecamuk. Bagaimanakah
aku harus bersikap nanti. Haruskah menyapamu sembari tersenyum, ataukah harus
diam menunggu kau menyapaku.
Kau
sampai di tempat yang telah ditentukan. Aku semakin bingung, hanya bisa mencoba
bersikap biasa saja, sembari menyembunyikan senyum yang sebenarnya ingin
mengembang.
Kau
menatapku di kejauhan. Matamu tersenyum jahil. Senyum terindah yang pernah aku
lihat di hari ini. Senyum yang telah lama tak nampak di hadapanku. Katamu,
siapa ya? Aku hanya terkekeh tidak jelas. Tidak tahu harus berbuat apa.
Setelahnya mengulurkan kantung plastik yang berisi buku yang baru saja kubeli
dua hari lalu.
Kamu
tersenyum bahagia ketika menerima buku itu. katamu, kau sedang ditatap jodohmu,
ya, dia, si penulis buku itu. Ah, tiba-tiba saja aku iri dengan si penulis buku
itu. Aku hanya menggelengkan kepala, sembari sesekali mengumpatmu.
Setelah
itu, kami berceloteh tidak jelas. Aku tidak ingat apa percakapan itu. Kemudian
aku mengajakmu menikmati ice cream, kau
mengiyakan, dan menyuruhku naik ke jok belakang motor barumu. Namun, katamu,
kau sedang radang, jadi tidak bisa makan ice
cream. Yah, dalam hati sedikit menyesal, tapi tak apa, setidaknya dengan
ini aku jadi sedikit lebih lama berbincang denganmu.
Kamu
melajukan motorku. Seketika aku menyadari kamu salah jalan. Mengapa belok,
bukan lurus. Kamu menyebutkan sebuah daerah, ya daerah yang kukenali. Tapi, aku
bilang bukan disana, tapi disitu. Daerah yang lebih dekat dari rumahku.
Sepanjang
jalan, kami sedikit bercengkrama, sesekali bergurau hingga membuatku tak ingin
turun dari boncenganmu. Kupikir, aku rindu saat-saat aku tertawa bersamamu.
Kamu dengan segala tingkahmu, mampu membuatku nyaman dan bahagia. Ah, apakah
kau merasakan hal yang sama denganku?
Kataku,
daerah yang kini kita lintasi jadi ramai, katamu, karena ada aku, lalu aku
membalas, ya karena mereka mau meminta tanda tangan dan foto bersamaku. Kau
meledekku, katanya menyesal bilang begitu, dan ingin menurunkanku di lampu
merah tempat kita terhenti. Lalu aku mengiyakan, dengan tawa, dan melirik dan
sembunyi-sembunyi bilang ingin menebeng ibu-ibu disebelah yang tengah melihat
kami yang heboh tertawa.
Seusai
itu, motor kamu belok ke tempat aku akan menikmati ice cream dan menikmati senyum indah di wajahmu. Kamu
memarkirkan motor, lalu aku turun dan menunggumu selesai. Kamu meledekku,
katamu, senang tidak dibonceng oleh cowok ganteng sepertimu. Lalu aku membalas,
iyadeh iya, tapi tak lebih ganteng dari My
Jung Yong Hwa Oppa, kamu bertanya
itu siapa, lalu aku membalas itu My Oppa, kamu membalas lagi, menyebutkan nama Korea
secara asal. Lalu kita tertawa bersama.
Aku bertanya, kapan terakhir kali ke sini, katamu
ketika atletik. Lupa dengan siapa. Ah, kupikir kamu ingat, kalau setelah kami
lulus, pernah kesini bersama, ternyata kamu lupa. Tapi, tak apalah, mungkin
memang benar, kamu tak mengingat karena merasa itu adalah hal yang biasa,
sedangkan atletik yang entah dengan siapa katamu, itu hal yang istimewa.
Mungkin.
Kami memilih kursi yang terletak di luar. Aku
memesan ice cream dan kamu menunggu
disana. Sebelumnya kamu bertanya padaku, apakah aku sudah menonton Avengers, film yang kini sedang ramai.
Kataku, belum. Lalu kamu meledek, ingin meminta traktiran denganku. Aku
menggelengkan kepala sembari meledekmu.
Kami sedikit bernostalgia. Kamu meminta saran
denganku mengenai acara buka puasa bersama. Katamu, kamu ingin melihat dia, ya
aku tahu dia. Dia yang menawanmu, dia yang selalu kau ceritakan padaku, ketika
kami sama-sama bersegaram putih abu.
Aku semakin yakin, untuk berhenti darimu. Kemudian
kamu kembali meledekku dengannya. Ya dia yang dulu selalu aku ceritakan padamu.
Dan, kataku, semua sudah selesai. Aku sudah tidak mengaguminya lagi. Tanpa
kusadari, pembicaraan kami selalu tentangku dan orang lain.
Aku bisa menjadi sangat cerewet kalau bersamamu. Bahkan aku tanpa sengaja
membicarakan dia si misterius yang pernah satu kelas dengan kami.
Aku
mengucap selamat secara tersirat, bahwa kamu usai melakukan ibadah ke tanah
suci. Aku bertanya, apakah kamu mendoakanku? Katamu, kamu mendoakanku supaya
cepat dapat jodoh. Aku mengaminkan. Kemudian kamu menyebutkan nama si dia, dan
aku mengaminkan dengan ragu, lalu meledekmu untuk tidak menangis saat datang ke
pernikanku. Kamu hanya tersenyum menanggapi.
Kamu
menunjukkan mantanmu, yang mirip dengan si penulis yang katamu jodohmu. Ya, aku
membenarkan, mereka mirip. Sama-sama cantik. Aku menjadi paham, apa yang
membuatmu dulu amat menginginkannya.
Aku
membicarakan idolaku, untuk membalas celotehmu tentang idolamu. Kamu bertanya
bagaimana rupanya idolaku. Aku menunjukkannya. Aku tak tahu bagaimana responmu,
yang aku tahu kamu hanya meledekku ketika melihat namaku yang hampir selalu
menyukai posting-an miliknya.
Satu
lagu yang masih kuingat. Friend dari
Marshmello. Ah, lagu itu benar-benar menyindirku. Aku tahu. Aku akan berhenti
setelah ini.
Kamu
bertanya padaku mengenai kepribadian dari bentuk tangan. Aku bilang, jangan
terlalu percaya, karena kata idolaku, itu hal yang konyol, menghubungkan antara
kepribadian dengan bentuk tubuh. Lalu, aku berkata, bahwa aku juga mempelajari
cara melihat kepribadian dari tes, kamu tertarik, katanya kamu ingin
mencobanya. Aku bilang, itu tak bisa dilakukan olehku, karena aku bukan
ahlinya, dan kebetulan saat itu, tes yang aku lakukan hanya untuk mengikuti
mata kuliah yang kuambil.
Kamu
bilang, kamu juga pernah mencobanya. Lalu kami mencari di internet. Kamu
mencoba, aku pun mencobanya. Tes yang kami ikuti mendapat hasil yang berbeda
dari yang pernah kami coba sebelumnya. Kamu dari introvert menjadi ekstrovert.
Aku sebaliknya. Katamu, aku memang tipikal introvert. Aku termasuk tipe yang pemilih, dan hanya bisa cerewet
dengan orang yang membuatku nyaman. Kamu benar, aku tidak benar-benar ekstrovert, dan lebih mendekati introvert.
Hampir
pukul 05 sore. Kamu sudah terlihat bosan, kuterka itu dari tanganmu yang sibuk
melihat-lihat instagram. Tidak lama
kemudian, kamu bertanya letak mushola, lalu menyudahi pembicaraan di hari ini.
Ketika
di depan mushola, kamu bilang, bahwa sebenarnya kamu ingin melihat seat film tersebut, tapi tidak jadi.
Yasudahlah, tak apa. Nanti kamu menonton saja dengan orang pilihanmu, ucapku
dalam hati.
Seusai
sholat, aku mencoba untuk berdoa, jika kau memang untukku, aku bersyukur, namun
jika bukan, tak apa. Setelahnya, kamu meledek, katanya, kami ke mall dengan menggunakan sandal jepit.
Aku hanya terkekeh sembari merutuki mengapa secuek ini. Lalu, kamu mengantarku
pulang. Kamu kembali melucu sepanjang perjalanan. Kamu membuatku menjadi orang
yang paling bahagia di hari itu. Aku bertanya, dimana daerah rumahmu, mengapa
bisa waktu tempuh yang kau butuhkan hanya 15 menit. Kamu membetulkan daerah
yang kusebut, katamu, kamu naik burok.
Aku terkekeh sembari membalas berarti aku juga sedang naik burok.
Sebelum
sampai di rumahku, aku menjahilimu dengan menyebutkan masjid ini rumahku. Kamu
berhenti mendadak, lalu aku tertawa. Masa iya rumahku di masjid. Kamu mau aku ruqyah di masjid. Mendekati rumahku,
kamu kembali dengan ulahmu, mau belok padahal itu lurus. Aku hanya terkekeh,
sembari mengumpatmu. Sampai kemudian kamu menyadari rumahku, dan berhenti tepat
di depannya. Aku menawarimu untuk masuk, katamu kamu ingin salim saja, tapi
ternyata keluargaku sedang terlelap, jadi kamu hanya bertemu dengan adikku dan
meledekku dihadapannya. Lalu, kamu melanjutkan pulang ke rumah, dan pertemuan
kami diakhiri dengan sebuah high five.
Persis seperi yang pernah kita lakukan hampir empat tahun lalu.
Teruntukmu,
terima kasih telah membawa warna baru dalam hidupku. Bilapun bukan kamu, tak
apa, setidaknya bertemu denganmu membuatku mengerti arti berteman, bersahabat
tetapi mengagumi dalam diam.
Komentar
Posting Komentar