Cerpen: Tangis Pertama

Nania dan Sheila menghabiskan waktu liburan terakhirnya sebelum masuk sekolah sebagai siswa SMA di sebuah café chocolate yang tak jauh dari rumah mereka. Suasana café yang tidak begitu ramai membuat dua sahabat ini memilih café d’chocolate sebagai tempat favorite ketika sedang jenuh. Nania melangkah menuju meja di pojok ruangan, tepat sebelah jendela besar yang menghadap jalan raya. Sedang Sheila menuju counter untuk memesan makanan dan minuman favorite mereka. Nania terlihat santai dengan jeans dan kaos berwarna biru yang dipadu dengan jaket jeans, serta serasi dengan kunciran dan sepatu kets berwarna biru. Sedang Sheila terlihat cantik dengan balutan dress berwarna merah dan rambut sebahu yang dibiarkan terurai.

“Selamat ya Nan, lo keterima di SMA Nusantara. Ah sayang banget gue malah keterima di SMA Pertiwi,” ucap Sheila memberikan selamat kepada Nania. Nania membalas uluran tangan Sheila, 

“Makasih ya La, selamat juga bisa masuk SMA Pertiwi. Walau kita gak satu sekolah, setidaknya kita sama-sama masuk sekolah favorite.”

Sheila tertawa mendengar ucapan Nania. “Sombong banget dah ya, btw makasih Nan karena usaha keras lo untuk meyakinkan gue tetep nyoba daftar di kedua sekolah itu, walau akhirnya  tetep belum bisa satu sekolah sih.”

Nania tersenyum, matanya berkilau mendengar ucapan tulus Sheila. “Bukan karena gue kok, tapi karena emang kemampuan lo yang membuat lo disana, La.”

“Oh iya Nan, gue punya berita bagus,” ucap Sheila menggebu. Tanpa  sadar Sheila mengetuk-ngetuk meja tempat café tempat mereka makan.

“Woileh, semangat banget. Ada apa emang?” tanya Nania antusias, ia meletakan sendok dan garpunya untuk mendengarkan berita – yang katanya bagus – dari Sheila.

“Waktu gue daftar ulang, di sebelah gue ada cowok, gak ganteng sih tapi manis. Nilainya tinggi-tinggi banget, dan yang paling penting dia pakai kacamata,” Sheila menjelaskan.

“Terus?”

“Yah, lo pasti suka kalau ngelliat dia. Gue yakin deh itu tipe lo. Secara lo kan sukanya sama orang berkacamata dan muka dia pendiem kok, pokoknya cocok deh sama tipe cowok ideal lo,” ucap Sheila percaya diri. Ia menyeruput ice chocolate miliknya kemudian melanjutkan penjelasannya, “Namanya Fah.. siapa ya, pokoknya dari SMP 6 nanti kalau udah masuk lo cari dia yah.”

“Buat apaan nyari dia La? Rajin banget deh,” jawab Nania tak acuh.

“Ya, di coba aja dulu, Nan. Siapa tau beneran kecantol,” Sheila tertawa, tatapannya meledek wajah Nania.

“Kalau enggak?” Nania menaikkan alisnya.

“Kalau enggak yah berarti sama yang lain,” Sheila tertawa.

Selesai makan, mereka kembali ke rumah masing-masing. Sibuk mempersiapkan bawaan untuk sekolah di tempat yang baru..

**

Nania berjalan dengan langkah riang, meyusuri koridor sembari sesekali berhenti untuk melihat nama yang terpampang di jendela untuk melihat dimana kelasnya berada. Langkahnya terhenti ketika di depan X-C melihat nama Nania Lestari terpampang disana.

Ia berjalan mendekati  pintu, langkahnya kembali berhenti ketika berpapasan dengan seorang cowok beralis tebal dan memiliki hidung yang mancung. Cowok itu tersenyum ke arahnya. Wajah Nania seketika memerah, dan ia menghempaskan tasnya tepat pada meja pertama. Meja yang telah dijanjikannya dengan Meta, teman satu gugus ketika MOPDB lalu.
Senyumnya mengembang mengingat wajah cowok yang ditemuinya sama dengan cowok yang ditemui ketika daftar ulang ternyata sekelas dengannya.

Meta datang menyapa Nania yang asik senyam-senyum sendiri. “Nan, kenapa senyam-senyum gitu masih pagi?”

“Eh Meta, sejak kapan ada disini?” Nania bertanya balik.

“Barusan kok, tuh kan sampai gak sadar gitu sama kedatangan aku, hayo mikirin siapa?” Meta meledek.

“Enggak kok Met.” Nania menggelengkan kepala dengan cepat.

Keadaan kelas semakin ramai didatangi oleh siswa-siswi yang mukanya asing bagi Nania. Ada yang sedang sibuk mencari kursi, ada yang sudah asik di kursi dengan memegang gadget, ada yang sibuk jalan-jalan untuk berkenalan dengan teman barunya. Sementara Nania dengan Meta sibuk tertawa meneritakan kembali masa-masa MOPDB 3 hari yang lalu.

Bel berbunyi nyaring. Siswa-siswa yang semula bertebaran sibuk berhamburan kembali ke tempat semula. Terlihat sangat patuh pada peraturan,

**

Seorang guru dengan map hijau ditangannya masuk ke kelas X-C. Langkahnya santai, seperti raut wajah yang dimilikinya. “Selamat pagi,” ia menyapa anak-anak di kelas, kemudian meletakkan map yang di bawanya ke meja guru. “Bener ini kelas X-C?”

“Iya,” jawab seisi kelas berbarengan, diiringi dengan anggukan kepala.

“Nama bapak Dirga Agung, saya wali kelas kalian sekaligus mengajar sebagai guru Bahasa Indonesia. Sekarang bapak absen ya?” tanya pak Dirga. Anak-anak mengangguk.

Nania sibuk tengak tengok ketika nama-nama di buku presensi dipanggilkan. Meta menatap Nania dengan alis berkerut. “Kenapa Nan? Nyari tahu nama siapa, hayo?” tanya Meta dengan nada meledek, telunjuknya mengarah ke wajah Nania. Nania buru-buru menjawab dengan gelengan ketika nama Fahri disebutkan dan cowok beralis tebal dan hidung mancung itu mengangkat tangannya. Wajah Nania memerah, senyum terkulum dibibirnya.

“Oh, jadi Nania naksir sama anak kecil itu? Cie Nania.” Meta berbisik, sembari tersenyum melihat wajah Nania yang makin matang karena malu.

Nania mendesis, ia meletakan telunjuknya di bibir. Meta paham dengan isyarat itu, kemudian ia mengangguk dan tersenyum jahil.

**

Bel istirahat merupakan hal yang paling dinantikan, terlebih sedari tadi wajah-wajah di kelas X-C sibuk menunduk menahan kantuk. Nania lupa membawa bekal. Seorang teman sekelasnya mengampiri Nania yang masih sibuk dengan kebiasaannya – celingak celinguk.

“Hai Nan, kamu gak bawa bekal juga?” sapa wanita cantik yang berdiri didepannya. Nania memperhatikan wajahnya lekat-lekat, “ah iya aku gak bawa bekal.” Nania menggaruk tenguknya yang tidak gatal.

“Kalau gitu bareng yuk sama Tika, aku juga lapar dan tidak bawa bekal.”

“Eh iya, ayo ke kantin,” kata Nania. “Met, aku ke kantin ya.” Nania pamitan dengan Meta yang sedang asik mengunyah bekal makan siangnya. Meta menganggukan kepalanya.

“Tik, kamu dari kelas X-C juga?” tanya Nania.

“Iya Nan, emangnya dari mana lagi. Masa iya aku dari X-E tiba-tiba ngajak kamu bareng.” Tika menjelaskan.

“Tapi tadi aku gak denger ada nama Tika.”

Tika tersenyum mendengar penjelasan Nania. “Namaku Cantika, Nan. Inget gak sama nama itu?” 

Nania mengerjapkan matanya kemudian iya tersenyum malu ketika mengingat nama itu. “Ah iya, kalalu Cantika aku denger tadi. Oh jadi nama panggilan kamu Cantika?” Nania memastikan. Cantika mengangguk diiringi dengan senyum lebarnya yang memperlihatkan deretan behel berwarna merah yang digunakannya.

Nania dan Tika memilih makan siang di kantin. Mereka memesan siomay dan es teh manis, kemudian mengambil langkah menuju meja bundar di bagian depan kantin yang berhadapan dengan lapangan futsal.

**

Bel tanda masuk berdenting. Nania dan Tika berlari meninggalkan meja. Pelajaran selanjutnya adalah Fisika. Sebagai siswa kelas X mereka sangat takut untuk telat masuk ke kelas.
Nania menubruk bahu seorang di depannya. Ia buru-buru berlari menyusul Tika yang sudah jauh hampir mendekati pintu kelas. “Maaf,” ucapnya tanpa menoleh siapa cowok berkacamata yang ditubruknya itu. Yang ia ingat hanya kacamata hitam dan tinggi yang sepantaran dengannya.
Tika sampai lebih dulu, kemudian disusul dengan Nania dengan napas terengah-engah. Meta menyodorkan botol minum miliknya. Nania menggeleng dan mengambil botol minum berwarna biru dari tasnya.

Terdengar bunyi ketukan dari arah pintu. Anak-anak kelas mendadak diam. Hening. Gemelutuk pantopel yang digunakan guru fisika terdengar memantul. Menambah kesan mistis karena akan belajar fisika. Kondisi yang sama seperti sebelumnya. Wajah-wajah penghuni kelas mengangguk angguk dan sesekali terjatuh karena kantuk. Sesekali Bu Dera mengetuk penghapus untuk mengembalikan focus anak-anak yang hampir terlelap, atau menyuruh anak-anak yang ketahuan tidur di kelas untuk cuci muka.

Alunan merdu lagu Sleeping Child terdengar ke seluruh pelosok SMA Nusantara. Menandakan jam pelajaran telah berakhir. Seluruh siswa bersorak bahagia, dengan sigap mereka merapihkan barang-barangnya untuk dimasukan ke dalam tas.
**
Bangku di sebelah Nania kosong karena Meta tidak masuk. Tika menghampiri Nania dengan senyum ceria. Menawarkan diri untuk mengisi bangku Meta yang kosong. Ia merasa jenuh duduk di dekat pintu karena selalu jadi korban untuk mengecek kehadiran guru yang akan masuk ke kelas. Nania mengiyakan tawaran Tika.

Sepanjang pelajaran Tika sibuk membaca novel yang diumpatinya di kolong meja. Nania melirik sampul novel yang dibaca Tika. Ia kenal dengan sampul novel itu. Nania antusias membicarakan novel yang dibacaTika. Mereka dekat sejak itu.

Pelajaran Bahasa Inggris di mulai. Nania malas-malasan mengikutinya. Terlebih ketika ia dipasangkan untuk satu kelompok dengan Fahri. Nania malas karena ia merasa malu dan wajahnya selalu memerah ketika di dekat Fahri. Tidak jarang Nania menjadi sasaran empuk Fahri yang senang meledek dan tebar pesona ke wanita.

**

Pulang sekolah. Tika mengajak Nania untuk pergi ke toko buku untuk membeli novel dan komik. Mereka memilih menaik angkot karena ongkos yang lebih murah untuk bisa sampai di toko buku.
Nania memilih untuk duduk di bangku pojok, sedangkan Tika memilih duduk dihadapannya. Sesaat setelahnya cowok dengan seragam yang sama duduk di sebelah Nania. Rasanya Nania tidak asing dengan kacamata yang digunakan oleh cowok itu. Disebelahnya duduk seorang wanita sedang menatap wajah Nania sinis. Nania mengalihkan pandangannya ke jendela.

“Fahmi, nanti turun dimana?” tanya wanita berambut panjang itu dengan nada lembut.

“Di depan gang, Mel.” jawab cowok yang disapa Fahmi itu.

“Oh iya, Mi nama facebook kamu apa? aku minta dong.” Wanita itu tersenyum genit.

“Fahmi Pratama.” jawab cowok itu singkat.

“Fahmi lulusan SMP 6? Tetanggaku ada yang lulusan sana loh.” tanya cewek bernama Melly antusias. Fahmi mengangguk kecil, kemudian mengetuk atap angkot. Sopir angkotnya menghentikan laju tepat di depan gapura berwarna hijau. Fahmi bangkit tanpa menyapa dan menoleh kepada Melly dan 2 orang disamping Tika yang menatap Melly dengan wajah sumringah bercampur prihatin. Nania dan Tika saling pandang sambil menahan senyum.

**

Nania mengerutkan keningnya. Rasanya ia tidak asing dengan nama Fah.. dengan asal SMP 6. Dering hanphone mengagetkannya. Sheila. Penyebab dari deringnya handphone Nania.

“Hallo, Nan. Malam minggu main yuk. Kayaknya udah lama nih kita gak main. Semenjak masuk SMA.” ajak Sheila.

“Boleh La, besok dong yah berarti? Yaudah nanti gue ke rumah lo.”

“Oke, ditunggu. Btw gue tutup ya, udah ditungguin nih sama Alfonso.”

“Hah? Siapa?”

“Besok gue ceritain.”

**
Nania dan Sheila kembali ke tempat favorite mereka. Dengan menu dan posisi yang sama. Sheila bercerita panjang lebar tentang Alfonso – cowok yang sedang dekat dengannya. Nania penasaran dengan orang yang dimaksud oleh Sheila waktu itu. Nania menyodorkan handpne yang menampilkan profile cowok berkacamata kepada Sheila. Sheila menanggapi dengan raut wajah senang.

“Tuh kan gue bilang juga apa, kepincut kan lo sama dia!” seru Sheila bersemangat.

Nania tersenyum canggung. Nania menceritakan tentang pertemuan-pertemuan tidak disengajanya dengan Fahmi. Wajahnya memerah ketika bercerita momen ia menabrak bahu Fahmi dan pertemuannya dengan Fahmi di angkot. Nania merasa omongan Sheila ada benarnya. Fahmi adalah orang yang menarik dengan sikap cuek dan wajah misteriusnya.

Diam-diam Nania menambahkan Fahmi untuk menjadi teman di facebook. Wajahnya ceria ketika melihat permintaannya disetujui. Mengintip profil Fahmi menjadi hobby baru bagi Nania. Sedangkan Fahri tak lagi menarik hati Nania. Walau terkadang Fahri sering menghubungi Nania, tapi Nania membalas sekadarnya. Baginya kini Fahmi yang menjuarai hatinya.

**

Nania dan Fahmi sering bertemu karena hal-hal tidak terduga. Mulai dari keusilan Tika yang pernah sengaja melempar sepatu Nania hingga terjatuh di belakang Fahmi dan membuat Fahmi menatap Nania dengan tatapan heran. Tatapan teduh itu selalu membuat Nania tersenyum bahagia. Kemudian berlanjut pada kejadian di ruang computer ketika Fahmi menghampiri Aldo – yang duduk disebelahnya – untuk memindahkan anime yang dimiliki secara diam-diam karena guru computer sedang keluar sebentar.

Nania terus mencari tahu tentang Fahmi. Sesekali mengkomen status Fahmi dan saling berkomentar di twitter. Sampai suatu ketika ia merasa dikelilingi kabut pekat. Matanya menggerimis mengetahui status hubungan Fahmi yang bertuliskan berpacaran. Nania kalut dan kecewa melihatnya. Ia menumpahkan ceritanya pada Tika. Karena Tika adalah salah satu sahabat pilihan Nania dan di sekolah hanya Tika yang tahu perihal rasa suka Nania untuk Fahmi.

“Nan, kamu mau sampai kapan terus menangis?  Untuk apa menangisi hal yang tidak kamu miliki?”

“Entahlah Tik, aku merasa sebagian hatiku telah hilang dan dibawa olehnya.”

“Hilang bagaimana? Bahkan memilikinya pun belum bagaimana bisa ia hilang?”

Deg. Pernyataan Tika seakan menusuk Nania. Nania mengutuk dirinya sendiri. Bagaimana mungkin ia dengan begitu mudahnya jatuh hati dan menaruh hatinya untuk orang yang baru dikenalnya bahkan pada ia yang tidak dekat dengannya.

“Tik. Mungkin memang aku yang salah. Terlalu mudah jatuh hati hanya dengan melihat secara sepintas.”

“So? Mau nerusin nangis apa  kembali seperti Nania yang dulu? Nania yang ceria.”

“Aku ingin kembali Tik, menjadi Nania yang ceria. Kembali dengan hati yang baru. Hati yang penuh walau tidak lagi untuk Fahmi, apalagi Fahri.” Nania memaksakan tersenyum.

“Gitu dong, kan manis kalau tersenyum gitu.” ucap Tika, menghapus air mata di wajah Nania.


Nania meminum ice chocolate yang dipesannya. Beruntung café d’chocolate sedang sepi. Jadi tidak ada yang menyadari tangis Nania. Selain cowok tinggi yang mengenakan hoody berwarna biru di seberang mejanya.

Komentar

Postingan Populer