Cerpen: Pertemuan Singkat

Pertemuan Singkat
“Nan, masih mau berapa lama berdiri disana? Masuk angin baru tau rasa lo!” Aulia menyundulkan kepalanya ke pintu yang menghubungkan antara kamar dengan balkon. Hujan yang mengguyur malam ini membuat udara makin terasa dingin, menusuk tulang.

Kinan menggelengkan kepala, “Gak tahu.”

Aulia kembali menghempaskan tubuh ke kasur, menghela nafas panjang. Dia hafal dengan kebiasaan sahabatnya yang sangat menyukai hujan. Dimana ada hujan, disana pasti ada Kinan, berdiri dengan mengadahkan tangannya menampung buliran hujan yang jatuh lalu memercikannya ke udara.

Di luar, Kinan menatap hujan dengan tatapan sendu. Pikirannya melayang. Memori itu selalu berkelebat berputar di kepala Kinan. Senyum riang, candaan menjengkelkan dan tatapan teduh milik cowok bertubuh tinggi itu seakan ada di depannya. Ia mengacak rambutnya, kesal. “Cukup!” ia menghela nafas panjang. Berusaha menenangkan pikirannya yang mulai kalut.
“Untuk apa cinta diciptakan bila pada akhirnya yang ada hanyalah perpisahan?” ia bergumam lirih. “Cinta diciptakan untuk menguatkan, bukan melemahkan.” Terdengar jawaban dari suara rendah milik Aulia. Ia berdiri di samping Kinan. Matanya yang teduh menatap wajah Kinan, prihatin. “Kinanti Agustina, kemana lo yang dulu? Sahabat gue yang ceria dan penuh canda tawa dimanapun lo berada.”

Kinan menoleh, menggelengkan kepalanya kemudian menghela nafas panjang lagi. “Gue kangen Ul, gue rin-du.”  Kinan menghela nafas lagi, mencegah air mata yang sedari tadi dibendungnya tumpah. “Kenapa dia setega itu sama gue? Menanamkan bibit-bibit yang pada akhirnya ketika tumbuh dan berkembang malah ia tinggalkan dan menyemai bibit yang lain.”

Aulia masih belum paham dengan apa yang dibicarakan Kinan, “Maksud lo?” ucapnya mengerutkan kening.

“Gue benci dengan diri gue Ul. Begitu mudahnya menjatuhkan hati sampai akhirnya gue kecewa lagi.”

“Jatuh hati? Kecewa? Gue masih gak paham. Bukannya yang sama Dika itu sudah selesai sejak lo lulus?”

“Iya, ini bukan tentang Dika, tapi tentang Putra. Cowok yang telah mengajarkan gue arti bangkit dan merelakan namun ternyata membuat gue terjatuh lagi, lebih dalam.”

“Sejak kapan?”

“Sejak pertemuan itu, di bawah rinai hujan dia mendekat ke arah gue. Bertanya dan menenangkan gue dengan kata-kata yang diucapkannya.”

Aul mengangguk paham. Sahabatnya adalah orang yang sulit jatuh hati dan ketika ia jatuh hati sepenuh hatinya akan diberikan kepada dia yang telah mencuri hatinya. “Jadi lo kecewa karena ternyata dia bukan jadi milik lo gitu?”

Kinan mengangguk pelan. Bendungan air yang ditampungnya tumpah seketika. Aulia mendekatkan tubuh ke dekat Kinan. Tangannya mengusap bahu Kinan, menenangkan. “Nan, coba lo liat bunga di luar sana. Lo tau bunga secantik itu yang dirawat dengan sedemikian baiknya pun tidak selalu berujung pada pemiliknya.”

Kinan melemparkan pandangannya ke arah bunga mawar yang ditunjuk Aulia. Keningnya berkerut membuat alisnya bertaut mendekat.

Aulia tersenyum, deretan giginya yang rapi menambah cantik wajahnya. “Yah, lo tau? Bunga yang ada disini tidak berujung pada pemilliknya. Tapi setelah ia panen langsung dikirim untuk dijual di toko bunga. Sedangkan gue? Apa lo pernah ngeliat gue bermain cantic dengan mawar yang sebenarnya juga gue kagumi? Enggak, Nan. Dia hanya diciptakan untuk menghiasi rumah gue dan sebagai pemasukan untuk keluarga gue. Namun gue masih bersyukur, Nan. Setidaknya gue masih bisa menatap dia dari sini, sesekali bercengkrama dengannya kalau gue lagi nyiram dia.”

Kinan berusaha mencerna kata-kata Aul yang sebenarnya ia sudah dapat poinnya. “Jadi maksud lo cinta gak harus memiliki? Dan bisa jadi ia hadir hanya sebagai penghias dan penolong walau bukan harus menjadi milik gue?”

That’s right, so gak harus ada yang kecewa pada diri sendiri maupun pada orang lain. Karena setiap pertemuan pasti akan berujung pada perpisahan. Entah karena maut maupun karena jarak. Intinya setiap pertemuan akan mengajarkan suatu hal baru, entah menyatukan atau merelakan.
Kinan mengangguk, menghela nafas lagi. Ia tersenyum menatap sahabatnya, kemudian merangkulkan tangan ke bahu Aul, memeluknya sebagai ungkapan rasa lega.

“Cinta memang tidak harus selalu memiliki tapi setiap cinta pasti mengajarkan sesuatu, entah untuk menyatukan atau memisahkan.” Ia mengulang pernyataan Aul dan memasukannya ke dalam pikirannya. Aul menarik tangan Kinan untuk segera ke dalam, cuaca yang makin dingin ditambah langit yang makin pekat membuat ia tidak betah lama-lama di luar. Kinan mengikuti dari belakang. Kemudian Aul menyerahkan sekotak susu kesukaannya Kinan. “Nih, tadi Kak Fahri ngebeliin ini buat kita. Katanya traktiran karena dia abis dapet job.”

Aku mengambil susu kotak dan menyeruputnya hingga habis. Kemudian aku merebahkan tubuh ke kasur. Mataku menatap langit-langit. Bersyukur mempunyai sahabat seperti Aul, yang selalu ada disaat butuh dan tidak memaksa aku bercerita karena ia tahu aku akan bercerita sendiri nantinya.


Senyumku mengembang menatap wajah cantik Aul yang sudah terlelap lebih dulu. Aku menarik selimut untuk menutupi tubuhnya. Pandanganku kembali beralih ke arah jendela. Menikmati tetesan hujan yang membasahi bumi. Hujan yang setiap kali aku rindukan sejak pertemuan aku dengan Putra 3 tahun silam, kini bersama hujan (lagi) aku belajar arti merelakan.

Jakarta, 13 Februari 2017

Komentar

Postingan Populer