Belum Tepat Saatnya

Ternyata menjalin hubungan tidak semudah yang aku kira. Ya. Kupikir semua akan lebih mudah jika rasa yang kupunya terbalas dan terikat. Ternyata tidak; tentunya bagi diriku secara pribadi. Ya. Dengan sifat yang cukup sensitif, insecure serta cemburuan, membuat semuanya tidak mudah. Bahkan setelah hatiku memutuskan untuk sama-sama mencoba berkomitmen.

Tepat satu minggu setelahnya hubungan itu kandas. Terputus. Ya. Aku tidak ingin membebani orang lain karena sifatku yang masih seperti itu. Terlebih diusia yang sudah terbilang 22 ini aku masih labil. Kupikir memang belum saatnya atau mungkin memang ini adalah pertanda dari Semesta bahwa bukan dia pusat semestaku yang sebenarnya. Aku tidak paham betul, karena sebenarnya dia pun sempat membawa kebahagiaan, sebab buku ialah menjadi gerbang pertemuan itu.

Terkadang memori itu masih berkelibat dalam ingatanku. Masih teringat jelas masa-masa pendekatan itu. Teringat jelas pertemuan pertama itu, pada obrolan singkat di perjalanan, di bawah rerintik hujan sembari meneduh membicarakan novel, mengunjungi toko buku, dan terpaut pada satu bacaan yang sama. Ya. Sempat berlanjut dengan obrolan singkat dengan malaikat penjaganya. Sempat mendengarnya ingin berlanjut dan serius agar bisa bersama di masa yang akan datang. For the first time i met someone who say this for me. Bagaimanapun itu adalah salah satu cerita yang pernah aku rasakan bersamanya. Seseorang yang dulu asing hingga kemudian mungkin kan menjadi asing. Ya, he's my past.

Awalnya kupikir cinta itu indah. Bukan tentang pertemuan-pertemuan dan kata-kata manis. Bukan. Tapi tentang hati dan binar mata yang seakan melihat keindahan. Aku rasa aku tidak merasakan apa yang kupikir akan kurasakan. Kekanakan? Iya mungkin. Tapi aku paham apa yang aku rasakan kala itu. Takut, cemas, khawatir, resah, bimbang dan gelisah. Dan kupikir, gejala itulah ang membuatku memutuskan tidak bisa bersama dengannya seminggu setelahnya.

Satu hal yang membuatku semakin yakin untuk tidak bisa bersamanya. Satu hal yang masih membekas dalam ingatanku. Satu hal yang membuat hatiku semakin berteriak; Sudah cukup. Ah. Kalau diingat-ingat selalu saja sesak yang aku rasakan. Mungkin baginya sepele, tapi tidak bagiku. Mungkin aku yang terlalu sensitif, tapi aku tidak peduli, Aku hanya tidak suka diperlakukan seperti itu. Terlebih ada body shamming didalamnya. Ya. Percakapan yang ia unggah dengan seseorang yang juga wanita. Ucapan wanita itu sungguh membekas, dalam hati dan ingatan. Mungkin aku bisa memaafkan tapi tidak dengan melupakan. Ya. Semoga tidak ada lagi wanita ataupun manusia di luar sana yang diledek, dijadikan bahan perbincangan dan bully-an.
Kalau memang tubuhku kecil, kurus, bisa apa? Ya. Ingin rasanya aku membalas. Tidak apa seperti sapu lidi yang dikasih nyawa, yang penting masih dikasih hati untuk tidak merasa lebih baik, lebih cantik, lebih sempurna dari yang lain. Semoga kalian tidak melakukan ini lagi ya. Cukup aku yang kalian lukai. Karena kata-kata tidak hanya sekadar kata. Tetapi kata mengandung nyawa. Bisa membuat orang bahagia maupun terluka.

Ah sudahlah. Mungkin memang belum jodoh. Belum tepat untuk bersama. Dan mungkin memang aku bukanlah orang yang tepat untuk membersamainya, karena sifat alamiahku yang terlalu sensitif dan mudah cemburu pun tidak menginginkannya. Kupikir aku memang egois karena yang kupikirkan hanya diriku. Ya memang. Entah. Mungkin memang Tuhan masih menginginkan aku untuk terus belajar. Memperbaiki diri. Meyakinkan hati. Hingga suatu saat nanti akan bertemu yang pasti. Yang membuat hati memilih dan terpilih. Yang membuat hati mempercayai, karena Semesta menyetujui, orang tua meridhoi.

Komentar

Postingan Populer