Cerpen: Kemacatan di Jalan itu

Mataku seketika terbuka ketika cahaya senja mengenai wajah, yang kala itu tengah terlelap di bangku penumpang mobil online yang membawaku dari kawasan Slipi menuju rumah.

Tak sadar kupalingkan wajah ke arah kanan, awalnya sekedar ingin meminta maaf pada seorang teman yang berada disampingku karena harus menanggung beban kepalaku yang memang hobi terlelap ketika dalam perjalanan.

Namun pandanganku terlebih dulu mengarah ke arah luar jendela.

Deretan gedung pencakar langit, halte bis, gedung hijau dan matahari senja menjadi satu kesatuan pamandangan yang menarik mataku.

Tempat yang sangat familiar. Selama 3 tahun pulang dan pergi kemudian sesaat singgah untuk berjuang mendapatkan ijazah. Tapi bukan hanya itu, ada banyak pengalaman dan kisah didalamnya.

/

Seketika sekelumit kisah disana menghampiri. Seakan berputar diantara ruang mobil yang tengah berhenti karena lampu lalu lintas mengeluarkan cahaya merahnya.

Aku mengalihkan pandangan ke arah lain. Sebelah kiri. Namun lagi lagi ada bayangan lain yang seketika pula berputar disana.
Oh, seketika semua memutarkan lembaran usang yang dulu pernah ada.

Aku tak tahu harus bagaimana. Teman disebelahku bertanya, "Kenapa?"
Aku menggelengkan kepala, mencari alasan dengan mengeluarkan si Anna -ponsel putih yang aku miliki- lalu mengarahkannya ke arah jendela. Mengabadikan momen matahari senja yang tengah tertawa sinis melihat tingkahku.

"Aku mau foto matahari, lagi bagus soalnya." Aku mencoba mencari alasan. Rasionalisasi yang mungkin langsung mereka percayai adanya. Sebab aku memang sang pengagum langit, hujan dan senja.

Kabin mobil serasa makin mendingin. Ditambah suasana sepi, hening dan tanpa adanya obrolan ringan yang biasanya selalu ada jika aku bersama kawan dekatku.
Ternyata bersama dengan mereka yang belum dekat secanggung ini yah.

Aku kembali menatap ke arah kanan, kali ini dengan sedikit menggeser tubuh menjadi sedikit menyerong agar dapat terlihat jelas bangunan hijau itu.

Ada sekelumit rasa penasaran, rasanya aku tak dapat melawan untuk tidak menyaksikan bayangan yang tengah berputar ini.
Sialnya, aku malah terbuai menyaksikan bayangan yang tengah berputar ini.

Ada sesak di dalamnya. Namun aku tak dapat mengelak dan menghindarinya.

Bayangnya seketika hadir. Seakan sedang berdiri di luar mobil dan tersenyum menghadapku.

Aku diam. Mengumpat senyum yang sebenarnya sangat ini aku balas.

Tatapan matanya dan senyum misteriusnya masih sama seperti 3 tahun silam. Kali pertama aku berjarak sangat dekat dengannya. Berhadapan dan diam tanpa kata.

**

Mobil kembali melaju. Aku tersenyum lega. Menarik napas berharap bayang mereka tak lagi mengikuti.
"Aku pamit. Aku ingin beranjak," ucapku dalam hati.

Namun seketika dipersimpangan jalan, mataku menangkap benda kotak persegi panjang berwarna kemerahan, mengepulkan asap kehitaman.

Mobil kami melaju di belakangnya. Disana kembali kutemukan. Sosok lain. Seorang yang memiliki mata sendu, senyum tipis dan wajah dingin. Memakai jacket warna-warni -hijau, putih, biru, orange- sedang duduk di bangku untuk 2 orang dekat pintu belakang. Disebelahnya ada seorang wanita, dengan kuncir kuda andalanannya dan sedikit-dikit rambut ikalnya bergoyang tertiup angin.

"Ah, aku menghela napas dalam-dalam.
Semesta, apa rencanamu hari ini," ujarku dalam hati.

Sudah 2 bayangan seketika hadir didekatku.

/

Beruntung tak lama kemudian metro itu melaju lebih cepat. Meninggalkan mobil yang kami tumpangi -jauh di belakang.

Aku mencoba mengendalikan pikiranku. Mengajak bercengkrama teman di sampingku. Benar saja. Mereka berdua menghilang dari pandangan.

Tak terasa mobil yang kami tumpangi kembali berhenti. 3 teman di depan turun dari kursinya. Tersisa aku dan wanita berjilbab pink yang duduk di sebelah. Kemudian kami menyusul turun dan kembali ke tempat masing-masing.

Mereka ke kamar sewanya, aku kerumah kakekku.

/
Diperjalanan aku sibuk bergumam. "Apa maksud semesta membangunkan aku ketika disana?"

Namun tetap tak kutemui jawabnya. Sampai-sampai tanpa sadar aku tengah memilih jalan yang sebenarnya tak aku sukai, karena adanya si putih gempal yang kerap kali mengejar ketika aku melitas di depannya. Nasib baik aku tidak bertemu dengannya, ayam galak nan menjengkelkan.

/

Sampai rumah aku langsung bergegas ke lantai atas. Tempat aku dan juga kedua tanteku beristirahat.

Tanganku iseng membuka aplikasi chat yang aku miliki. Namanya muncul disana. Tidak ada sapaan darinya di dua hari ini. Hanya saja kolom chat itu belum aku hapus. Mungkin memang ingin kubiarkan mengendap disana. Sebagai pertanda bahwa aku pernah dekat dengannya. Walau sebatas dalam aksara.

Kemudian aku meninggalkan si Anna di atas kasur dan berganti dengan membuka buku baru dan ditemani dengan si ungu manis untuk sekedar mendengarkan lagu lawas yang ada disana.

Jleb, seketika tersentil dengan kata-kata si penulis -Panji Ramdhana-.
Ternyata menjaga itu memang sulit.
Rasanya seperti sia-sia perpindahan yang aku lakukan ini. Bagaimana mungkin ketika aku tahu ini salah aku tak dapat beranjak pergi meninggalkan bayangnya.
Teori yang baik kan mendapat yang baik sudah sangat mantap aku aamiini. Bahkan sudah sangat semangat aku terapkan di awal masa perpindahan ini.
Tapi, apa yang salah hingga saat ini malah terlena. Terbuai. Dengan kesemuan. Dengan ketidakpastian.

Semesta, ini sungguh rumit.
Ternyata aku masih lemah.
Tak seharusnya aku lemah.
Kata seseorang aku harus tegas dengan diriku sendiri.

/

Tak lama mataku terpejam. Di atas buku Ketetapan Hati milik Panji Ramdhana dan disamping si ungu yang terus mendendangkan lagu lawas nan melow.



Jakarta, 15 April 2017

Komentar

Postingan Populer